Senin, 30 Agustus 2010

Fenomena yang mempengaruhi iklim di Indonesia

Tahu nggak fenomena yang mempengaruhi iklim di Indonesia ?
Di Indonesia paling tidak ada dua kategori fenomena yang begitu berpengaruh pada kondisi iklimnya…
Pertama adalah fenomena global
1. El Nino dan La Nina

El Nino merupakan fenomena global dari sistem interaksi lautan atmosfer yang ditandai memanasnya suhu muka laut di Ekuator Pasifik Tengah (Nino 3,4) atau anomali suhu muka laut di daerah tersebut positif (lebih panas dari rata-ratanya). Sementara, sejauhmana pengaruhnya El Nino di Indonesia, sangat tergantung dengan kondisi perairan wilayah Indonesia. Fenomena El Nino yang berpengaruh di wilayah Indonesia dengan diikuti berkurangnya curah hujan secara drastis, baru akan terjadi bila kondisi suhu perairan Indonesia cukup dingin. Namun bila kondisi suhu perairan Indonesia cukup hangat tidak berpengaruh terhadap kurangnya curah hujan secara signifikan di Indonesia. Disamping itu, mengingat luasnya wilayah Indonesia, tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino.
Sedangkan La Nina merupakan kebalikan dari El Nino ditandai dengan anomali suhu muka laut negatif (lebih dingin dari rata-ratanya) di Ekuator Pasifik Tengah (Nino 3,4). Fenomena La Nina secara umum menyebabkan curah hujan di Indonesia meningkat bila dibarengi dengan menghangatnya suhu muka laut di perairan Indonesia. Demikian halnya El Nino, dampak La Nina tidak berpengaruh ke seluruh wilayah Indonesia .

Nah, kalo berdasarkan intensitasnya, El Nino dapat dikategorikan sebagai :

1. El Nino lemah (Weak El Nino) yaitu jika anomali suhu muka laut di Pasifik Ekuator bernilai positif (+) antara (+0,5 ºC) s/d (+1,0 ºC) dan berlangsung selama 3 bulan berturut-turut atau lebih.

2. El Nino sedang (Moderate El Nino) yaitu jika anomali suhu muka laut di Pasifik Ekuator bernilai positif (+) antara (+1,1 ºC) s/d (+1,5 ºC) dan berlangsung selama 3 bulan berturut-turut atau lebih.

3. El Nino kuat (Strong El Nino) yaitu jika anomali suhu muka laut di Pasifik Ekuator bernilai positif (+) antara >1,5 ºC dan berlangsung selama 3 bulan berturut-turut atau lebih.


2. Dipole Mode

Dipole Mode merupakan fenomena interaksi laut–atmosfer di Samudera Hindia yang dihitung berdasarkan perbedaan nilai (selisih) antara anomali suhu muka laut perairan pantai timur Afrika dengan perairan di sebelah barat Sumatera. Perbedaan nilai anomali suhu muka laut dimaksud disebut sebagai Dipole Mode Indeks (DMI).
Untuk DMI positif, umumnya berdampak kurangnya curah hujan di Indonesia bagian barat, sedangkan nilai DMI negatif, berdampak meningkatnya curah hujan di Indonesia bagian barat.

3. Madden Julian Oscillation

Madden Julian Oscillation (MJO) mengindikasikan osilasi aktivitas pertumbuhan awan-awan sepanjang jalur dimulai dari atas perairan Afrika Timur hingga perairan Pasisfik bagian barat (utara Papua). Periode osilasinya relatif pendek, sekitar 30-50 hari (intra seasonal). Dengan demikian analisis MJO terhadap penyusunan Prakiraan Musim Hujan 2009/2010, lebih digunakan sebagai bahan pertimbangan khususnya untuk memprakirakan Awal Musim Hujan 2009/2010.

Kedua adalah fenomena regional

1. Sirkulasi Monsun Asia – Australia

Sirkulasi angin di Indonesia ditentukan oleh pola perbedaan tekanan udara di Australia dan Asia. Pola tekanan udara ini mengikuti pola peredaran matahari dalam setahun yang mengakibatkan sirkulasi angin di Indonesia umumnya adalah pola monsun, yaitu sirkulasi angin yang mengalami perubahan arah setiap setengah tahun sekali. Pola angin baratan terjadi karena adanya tekanan tinggi di Asia yang berkaitan dengan berlangsungnya musim hujan di Indonesia. Pola angin timuran/tenggara terjadi karena adanya tekanan tinggi di Australia yang berkaitan dengan berlangsungnya musim kemarau di Indonesia.

2. Daerah Pertemuan Angin Antar Tropis (Inter Tropical Convergence Zone / ITCZ)

ITCZ merupakan daerah tekanan rendah yang memanjang dari barat ke timur dengan posisi selalu berubah mengikuti pergerakan posisi matahari ke arah utara dan selatan khatulistiwa. Wilayah Indonesia yang berada di sekitar khatulistiwa, maka pada daerah-daerah yang dilewati ITCZ pada umumnya berpotensi terjadinya pertumbuhan awan-awan hujan.

3. Suhu Muka Laut di Wilayah Perairan Indonesia

Kondisi suhu muka laut di wilayah perairan Indonesia dapat digunakan sebagai salah satu indikator banyak-sedikitnya kandungan uap air di atmosfer, dan erat kaitannya dengan proses pembentukan awan di atas wilayah Indonesia. Jika suhu muka laut dingin berpotensi sedikitnya kandungan uap air di atmosfer, sebaliknya panasnya suhu muka laut berpotensi cukup banyaknya uap air di atmosfer.
Semoga bermanfaat..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar